Gegap gempita kasus deportasi kasus tenaga kerja Indonesia ilegal belum selesai.Kasus TKI ilegal yang berujung pada kunjungan Presiden ke Malaysia itu membuahkan hasil, yakni penundaan kembali pelaksanaan razia dan deportasi menjadi mulai 1 Maret 2005 .Akan tetapi jangan berharap lebih dari itu . Kesepakatan pemimpin tertinggi kedua negara itu tidak akan menyelesaikan akar masalahnya.Selain itu tidak menjamin di kemudian hari tidak akan ada lagi kasus-kasus seperti ini.
Langkah recycle TKI ilegal hanya menyelamatkan mereka yang memang sudah terlempar atau tidak tertampung di pasar kerja dalam negeri dan memilih mengadu nasib di negeri tetangga itu.Selain mereka masih ada masih ada lebih dari sepuluh juta penganggur di negara ini.Itu baru penganggur terbuka, belum termasuk mereka yang setengah menganggur.
Kunci penyelesaian semua masalah itu adalah menciptakan lapangan kerja di dalam negeri.Oleh karena itu, sudah saatnya kita mempertanyakan kembali kebijakan ekonomi dan pembangunan yang ditempuh pemerintah selama ini.Benarkah kebijakan-kebijakan tersebut dapat menciptakan lapangan kerja?
Jika kita membicarakan arah kebijakan pembangunan ekonomi berarti mempersoalkan juga pilihan-pilihan sektor dan industri-industri yang menjadi prioritas dalam pembangunan ke depan .
Persoalannya sampai sekarang belum terlihat tanda-tanda bahwa pemerintah serius menangani sektor pertanian.Saat ini sektor pertanian menjadi tumpuan hidup 25,6 juta keluarga petani atau sekitar 125 juta penduduk Indonesia dan setiap tahun diharapkanmampu menyerap hampir satu juta angkatan kerja baru.
Menurut pengamat ekonomi pertanian, Bustanul Arifin sektor pertanian tidak dapat diandalkan sebagai penyerap tenaga kerja . Ia mencontohkan ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pertengahan 1997 , sektor pertanian terbukti tidak mampu menampung limpahan tenaga kerja dari perkotaan . Kelebihan tenaga kerja di pedesaan ini akhirnya mengalir kembali ke perkotaan sebagai buruh kasar.
Jika dilihat dari struktur ,angkatan kerja di Indonesia didominasi oleh penduduk usia kerja yang berpendidikan rendah dan berketerampilan rendah. Akan tetapi jika dilihat dari profil mereka yang menganggur,ada kecenderungan , dalam beberapa tahun terakhir , jumlah penganggur dengan jenjang pendidikan lebih tinggi semakin meningkat.
Dalam beberapa kasus kondisi ini sering dikaitkan dengan kurikulum pendidikan di Indonesia . Kurikulum tersebut tidak dirancang atau diarahkan secara khusus untuk menghasilkan tenaga-tenaga kerja terampil sesuai kebutuhan industri atau sektor-sektor yang ada . Sebagian besar sekolah-sekolah kejuruan sulit berkembang karena tidak mendapat dukungan fasilitas dan anggaran memadai.
Akibat dominasi tenaga kerja berketerampilan rendah ini,industri manufaktur yang berkembang hanya industri padat karya yang mengandalkan tenaga kerja murah ,seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT ),alas kaki dan industri kayu. Ironisnya industri atau sektor-sektor itu kini terpuruk karena berbagai permasalahan yang kompleks seperti daya saing yang terus merosot ,hambatan regulasi, dan kebijakan fiskal yang tidak mendukung.
Kebijakan pembangunan industri yang tidak jelas dan iklim investasi yang buruk memperburuk kondisi tersebut. Industri-industri inipun semakin merana.Dalam beberapa tahun terakhir banyak industri tersebut yang berguguran dan terpaksa memberhentikan karyawannya.Di saat yang sama ,industri-industri di masa yang lalu menjadi prioritas pemerintah untuk dikembangkan dan mendapat fasilitas luar
biasa dari penguasa, termasuk proyek-proyek mercusuar yang padat modal dan padat teknologi, juga tidak berkembang.
Sementara itu industri yang terbukti menyerap dan menjadi tumpuan utama penghidupan mayoritas penduduk, seperti indeustri-industri yang berbasis pertanian atau kelautan /perikanan,telantar dan dianaktirikan. Oleh karena itu untuk menangani hal tersebut diperlukan renaisans (renaissance) atau gerakan kembali ke industri yang menjadi kekuatan dasar dari negara ini , yakni sektor pertanian dan kelautan . Setelah itu berkembang ,baru kita melangkah ke industri lain.
Struktur angkatan kerja yang didominasi oleh angkatan kerja dengan pendidikan dan keterampilan rendah menyebabkan semakin banyak angkatan kerja yang terlempar ke sektor informal. Porsinya sekarang ini sekitar 75 % dari angkatan kerja yang ada. Akan tetapi, hal ini juga tidak terlepas dari keterbatasan dan semakin menurunnya kemampuan sektor formal dalam menyerap tenaga kerja